Ujung dari sebuah perjalanan

1/11/2016 06:52:00 AM tridiyanti's 2 Comments

Ini sebuah cerita cinta klasik pada umumnya. Mungkin bagi mereka ini terlalu drama, tapi tau kah jika cerita ini pernah ada pada waktunya.

IA baru saja membuka lembar baru di jendela laptopnya. Satu alamat yang ia sangat hafal keluar dari jari jemarinya. Sebuah layanan blog yang tak asing lagi baginya. Hari ini dari kedua setelah percakapan itu. dan Ia berniat mengabadikannya dalam sebuah tulisan agar kenangan itu tak benar-benar hilang. Tapi hal yang lebih mengagetkan, ia menemukan satu draft yang tak sempat di publish, bahkan belum sempat ditulis. Hanya judulnya saja "Best Relationship Ever", dibuat pada 14 Desember tahun lalu, bahkan belum genap sebulan lalu. Ia sadar, pada hari itu ia akan menceritakan betapa indahnya jalan yang sedang iya lewati saat ini, bersamanya. Tapi hari ini, cerita berganti. 

"aku mau cerita, terus kamu jangan marah ya kalau aku baru cerita hal ini ke kamu" ujar yang disebrang sana.

"kok aku jadi takut" ia pun membalasnya

"ya udah gak jadilah kalo kamu takut"

"iya gpp deh :" hahhah iyaalah gpp, dari pada aku mati penasaran hahha"

"zzzz"

"mau nelfon atau gimana ?" ia menawarka diri

"chat aja lah" balasnya.

"aku tuh mau cerita kalau aku udah deket banget sama si mbak. Dan udah pergi tiga kali an dan dia terus yang ngajak aku". Lanjut balasnya.

Tepat pukul 11:06 senyum ia mulai memudar, tangannya mulai bergetar. Dan saat itulah awal perjalanan ini akan berakhir.

***
Dia lelaki dengan satu I di tengah dan A sebelum akhir, 5 lainnya bentuk konsonan, semuanya menjadi 7 huruf yang mengikat sebuah nama. Tapi tak perlu kau sebutkan dengan lantang. 

Ia mengenal dia sudah cukup lama, ketika mereka sama-sama masih berseragam abu-abu, tapi bukan satu almamater. Tapi mereka mengenal lebih dekat sudah lebih dari satu tahun belakangan ini. Tak pernah ada yang benar-benar ingat awal mulanya, yang ia tahu, dia adalah teman bercerita yang baik. Lelucon mereka sama, dan ia bisa menjadi ia yang sebenarnya tanpa harus peduli apa kata orang. 

Bercerita dengan dia membuat ia lupa waktu, jari-jemarinya yang mulai letih bukan menjadi alasan untuk menghentikan pembicaraan yang sebenarnya tak penting-penting amat jika di baca kembali. Ia sering kali merasa bosan dan kantuk sata di kelas. Untungnya waktu yang membedakan mereka membuat dia bisa menemani ia melawan kantuknya. Ketika jemari lelah menari di keyboard gadget, masih ada cara lain untuk sekedar bercakap. 1 jam, 2 jam, 3 jam, 8 jam pun pernah. Dari bangun, tidur, sampai bangun lagi, telfon itu masih saja menyambungkan dua manusia yang terpisah jarak dan waktu. Tapi bagi mereka itu bukan menjadi masalah yang besar. Awalnya. 

Mereka tidak mencari, tapi waktu yang mempertemukan. 

Dan pada saatnya, pertemuan mereka manjadi lebih nyata. Ia bisa melihat fisiknya secara langsung. Matanya, tingginya yang semakin semampai, tubuhnya yang masih saja menggunakan size S atau terkadang M. Dan suaranya yang masih sama ketika teknologi masih menjadi menyambung. 
Tak lama ia bertemu dengannya, tapi cukup untuk membuat tahun ini menjadi lebih berwarna.

***

"Jadi kamu udah berfikir bakal jalan lebih deket sama mbak?" 

"Iya, karna dia tuh tau semua tentang aku sekarang. dia bla bla bla bla bla..." 

"Mbak dan aku bedanya apa?"

"Bedanya kamu disana, dia disni. itu aja kok"

Dan kalimat pengakhir itu yang membuat ia benar-benar merasa terasingkan. Akhirnya setelah lebih dari 365 hari bersama, jarak pun menjadi penentu siapa yang pantas dan siapa yang tersisihkan.

Dia mendefinisikan gadis itu sesempurna mungkin. 
Yah, Mbak, gadis cantik berkerudung itu memang nyaris sempurna. Matanya bulat cantik, kulitnya putih bersih, berat tubuhnya proporsional dengan tingginya, dan satu lagi, dia pintar. Namanya sudah memiliki gelar resmi. Tak seperti ia, yang jalan hidupnya entah masih harus kemana. 

.........
"Aku gak bakal gantiin kamu kok, aku bakal tetap seperti ini dan seperti biasanya, tapi kalau bagi kamu sulit "diantara" yasudah aku gak akan maksain, yang mana bagi kamu bahagia aja". 

(Mungkin) dengan lantang dia menjawab itu, menyimpulkan percakapan panjang ini. Tanpa penolakan, tanpa penahanan, tanpa defense yang kuat, dia melepas ia untuk pergi. Dan ia memang sewajarnya harus pergi. 

Ia tak mengerti mengapa kemudian air matanya mendesak untuk keluar, dan tak terbendung lagi. pecah sejadi-jadinya. Berjam-jam kemudian, ia masih sibuk mengurusi air matanya yang tak jua bisa diajak kompromi. Membiarkannya terbuang dan meresap disela-sela permukaan bantal itu. Hanya bisa bersembunyi dibalik selimut dan berlindung dari demam yang bahkan belum juga usai.


***

Sebuah hubungan yang sempurna. Tak perlu tahu tentang rasa yang ada, tak peduli bagaimana bentuk dan namanya, yang pasti ini menguntungkan dan saling membahagiakan. Selalu punya tempat untuk "pulang". Selalu ada sela untuk bermanja-manja di akhir pekan, selalu ada waktu yang bisa ditemukan untuk saling mengisi. Tanpa tahu akan kemana ini berjalan, akan sampai kapan dan bagaimana mengakhirinya, atau mungkin memulainya. 

Tapi hal itu justru berubah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ia baru saja merasa bersyukur dan di pertemukan dengan lelaki dengan satu I di tengah dan A sebelum akhir. Perjalanan panjangnya beberapa hari mencari sebuah kepastian, berujung pada jawaban untuk bersyukur dan tak meninggalkan. Tapi telat. Dia sudah terganti. 

***


Setelah berjam-jam ia habiskan untuk menyesali waktu yang berjalan begitu cepat, untuk cinta yang datang pada mereka di waktu yang tak tepat, untuk banyak kenangan yang berjalan perlahan melewati hari itu, dan untuk sebuah ketidak jujuran yang menjadi musuh. Ia tahu jika akhir perjalanan indah ini memang akan seperti ini, tapi tak menyangka akan semiris ini. Tak menyangkan bumbu ketidak jujuran harus tumpah diantaranya, kenapa semua harus menghilang di waktu yang bersmaan. Ia tersedu setelah bertahun-tahun tak pernah sekeras ini. Menyesali kenapa lagi-lagi ia terperangkap di rasa takut yang terlalu besar. 

Ia pernah bilang pada seseorang, bahwa sejak beberapa tahun lalu, ia selalu takut menghadapi pergantian tahun. Ia takut apakah tahun selanjutkan akan lebih baik atau sebaliknya. Terlebih dari itu, di awal tahun ia selalu mendapati ada yang hilang. dan ia terlalu takut untuk kehilangan lagi. Mungkin hanya tahun kemarin ia melewati bulan pertama di awal tahun dengan senyum bahagia dan puas. Tanpa sedih, justru januari melenggang dengan indah.  Lain hal nya dengan tahun ini. Dan benar saja, hal yang ia takutkan tahun ini benar terjadi. Kehilangan datang lagi dibulan yang sama. 

Dan malam ini, dari seorang teman ia menemukan sebuah cerpen cantik berjudul "Dijual : rumah dua lantai beserta seluruh kenangan di dalamnya". 

Dan dari lubuk hati yang terdalam, ia juga ingin menjual semua waktu dan kenangan yang dia tanamkan.

Dan pada akhirnya ia tahu, ini lah ujung perjalanan itu. Berkahir manis, untuk dia.

You Might Also Like

2 komentar: