Surat Untuk Anjani

2/05/2016 12:29:00 AM tridiyanti's 0 Comments

Hai Anjani,

Untukmu gadis berkulit jauh lebih putih dari pada kulitku, dan gadis yang tak menyukai tim sepak bola kebanggaanku, tapi untungnya kita masih satu suara jika bertemu dalam piala dunia, si baju orange.
Ini surat pertama yang aku tulis untukmu, yah walaupun sudah pernah kau ku kirimkan sebuah sepeda melalui kertas berlipat dua itu, tapi ini adalah kali pertama aku menulis pesan sepanjang dan sebanyak ini. Aku tak tahu akan kah ini menjadi surat terakhirku pula atau tidak, rasanya iya, entahlah. Tapi berkatmu aku akhirnya menginjakan ke kantor bernuansa orange itu, tempat orang menitipkan cerita, benci dan  rindu pada seonggok kertas tak bersuara.

Anjani yang malang, 
Langsung saja aku pada pokok tujuanku menulis ini. Aku sebenarnya bisa saja menelfon mu, memencet nomormu pada layar ponselku dan langsung berbicara padamu seperti biasanya. Tapi rasa enggan masih saja mencuak dipikiran. Aku malas sekali jika harus mendengar suaramu yang tinggi dan terkadang memekakkan telinga. Terkadang kau pun tak henti-hentinya berkicau bak burung kelaparan. Mungkin dulu memang aku sangat menyukainnya, tapi kini aku rasa aku tak membutuhkannya lagi. Perhatikan, aku menulisnya dengan kata "mungkin", jadi sebenarnya aku juga tak tahu yang sebenarnya. 

Anjani, kau memang sungguh baik. Mungkin gadis yang terbaik yang aku temui. Wajahmu juga tak buruk-buruk amat, kau pun pintar dan pandai berbicara. Sering kali leluconmu membuat percakapan kita terasa hidup. Tapi Anjani, itu saja tak cukup, atau mungkin berlebih ? entah lah.  Yang pasti aku ingin sekali mengatakan maaf padamu. Entah ini patut atau tidak, tapi sebaiknya aku jelaskan  saja, biar nanti bapak pengantar surat itu yang mengantarnya. 

Ingatkah senja yang kita temui saat itu Anjani ? Yah senja yang kita pandangi bersama. Aku di bukit berbatu dipinggir pantai itu, dan kau dibukit yang lainnya. Iya aku tahu, kita memang tidak di tempat yang sama, tapi kala itu akhirnya kita bisa memandang langit yang sama, senja yang sama, awan yang sama, bahkan mungkin angin yang lewat di depanku juga angin yang datang mengibas rambutmu. Rasanya senang bukan kepalang, tak ku sangka kita bisa memandangi senjamu dan kamu melihat matahariku, dengan warna kemerah-merahan yang identik. Tak seperti biasanya kita menikmati mataharimu-bulanku, bintangku-suryamu. 

Apakah kau juga ingat malam bulan purnama itu ? Yah! kau yang duduk tepat dibelakangku. Kurasa kau melihatnya. Karna diam-diam aku mengintip dari kaca sepion. Kau menengadahkan kepaamu ke atas, rambutmu yang mencuat dari sela-sela helm, terbang diterpa angin yang mungkin sempat berjumpa dengan purnama. Itu hal terbaik yang aku temukan tahun ini. 

Anjani yang tegar, 
Belum sudah aku menguraikan kata maafku, tapi memang aku tak sanggup mengatakannya sekarang. Jadi biarkan aku mengatakan terimakasih padamu terlebih dauhulu. Kau ingat Anjani, saat tumpukan pekerjaan dan tugas itu mencekik leherku? Yah itu rasanya aku akan mati jika kau tak cepat-cepat datang. Manalah aku paham bagaimana merangkai kata ilmiah, jika pernah membacanya pun tidak. Aku tahu kau membantuku sebaik mungkin, aku juga tahu jika kau bahkan belum terpejam saat tanggal deadline itu datang. Yah, yah, aku yang malah sempat tertidur dan kau yang meneruskannya. Tapi sungguh Anjani, mataku tak kuat lagi, bukan karna aku enggan. Dan lagi-lagi kau menjadi penolongku. 

Anjani yang baik, 
Terima kasih karna hampir disetip pagi kau membangunkanku. Walau sebenanrnya aku masih ingin melanjutkan berselancar di dalam mimpi. Tapi suara telfonku yang nyaring mmebuat kupingku gatal. Ditambah lagi kau yang suka memekik agar aku cepat tersadar dari kantuk. Yah itu menyebalkan, tapi aku bersyukur mengenalmu. Tapi Anjani, sadar kah kau, jika kantukku itu juga karna mu. Yah, bagaimana tidak, aku baru bisa tidur setidaknya 1 jam setelah tengah malam, bahkan lewat sepertiga malam. Kalau saja aku sudah tidur sebelumnya, aku pasti bisa sekalian ibadah malam. Seringkali aku terkantuk-kantuk menunggumu tiba di rumah. 

Ah alangkah panjangnya surat ini jika harus aku tuliskan kata terimakasih untuk setiap waktumu. Maka aku persingkat saja, karna tanganku sudah mulai pegal-pegal. 
Tapi yang pasti, termakasih yang sebesar-besarnya karna kau telah mempertemukan aku kembali dengan dia, dan kau memberikan waktu yang pas untuk kami saling mengenal. 

Anjani, 
Sekarang kau tak perlu lagi menahan kantuk hanya untuk membangunkaku di pagi hari, kau tak perlu lagi berusah payah menjadi guruku, dan sudah aku putuskan kau tak perlu lagi memasang kupingmu lebar-lebar untuk mendengar ceritaku. sebenarnya aku juga sudah lelah padamu. Siapa yang tak lelah jika hidupmu yang nyata terasa seperti hanya khayalan. Aku seperti hidup di dunia maya. Memang mengasyikan, suatu pengalaman yang menarik bisa berinteraksi bersama dengan orang yang nun jauh di sana. Hal ini jika tak pernah aku bayangkan, bahkan tak pernah aku tahu jika bisa berlangsung tidak hanya dalam hitungan minggu. 

Ah sudahlah Anjani, yang pasti sekarang aku ingin bebas. Yah, kau memang tak pernah mengurungku, tapi aku tak menemukan kata lain yang lebih elok, jadi kupinjam saja kata bebas itu. Pokoknya kini aku sudah jauh lebih bahagia. Jadi mohon jangan mengusik apa yang sedang aku susun ini. Kau mengerti kan kata bahagia ? Aku kini jauh lebih bahagia, Anjani. Manusia mana yang tak bahagia jika waktu tidurnya kembali normal. Kini aku bisa tidur setidaknya 8 jam perhari. Kini sebelum tengah malam aku sudah bisa tertidur pulas ditemani suaranya orang disebrang sana yang sama-sama tertidur. Elok bukan ? 

Kini aku pun tak lagi pergi sendiri. Tempat duduk disamping pengemudi kini sudah terisi sosok nyata nan cantik. Tak seperti dulu, kursi sebelahku kosong, yang ada hanya wajahmu yang terkurung dalam layar ponsel. Tak ada tangan yang membantuku merogoh uang receh dari dashboard. Walaupun itu menyenangkan, tapi kini jauh lebih menyenangkan. Aku juga sudah punya penasihat sendiri, yang bisa langsung memutuskan warna atau barang mana yang harus aku ambil saat membeli sesuatu. Aku tak perlu lagi susah-susah mengambil gambar dan mengirimkannya padamu, lalu harus menunggu kau membalas, lalu kita berdiskusi panjang... ah lama sekali prosesnya. Kini semua jauh lebih cepat Anjani. Oh ya satu lagi, perjalana panjang ke kampusku pun kini bukan masalah berat dan tak lagi membosankan. Sudah ada manusia nyata yang duduk disampingku, bercerita, bercanda, lalu tertidur di bahu. Perjalanan yang panas terasa jauh lebih sejuk. Semuanya tak lagi membuatku pusing karna perjalanan yang panjang. Ditambah bermain ponsel di dalam bus serasa bermain roller coaster, mual.  Oh astaga, aku hampir lupa. Tugasku pun kini jauh lebih ringan, bukan karna dia lebih pintar darimu, tapi karna dia duduk tepat di kursi sebelahku. 

Anjani, tanganku sudah benar-benar mati rasa, tak sanggup lagi aku menulis. Jadi izinkan aku mengakhiri ini dengan kata terima kasih, karna kau telah mempertemukan aku kembali dengan hidupku yang lebih baik. Ini semua juga berkatmu. Dan maaf jika aku tak lagi bisa menemani hari-hari mu, karna jujur aku sedang fokus pada hidupku yang bahagia ini, aku ingin benar-benar menikmatinya. Jadi maafkan aku jika ini terasa tak adil di dengar. Pesanku, jangan kau banyak terbuai masa lalu, kenangan yang sudah lewat atau kata-kataku dulu. Kau tahukan aku seorang lelaki, dan harusnya kau sudah paham dengan baik, bagaimana aku. Itu hanya lelucon belaka, hanya kalimat-kalimat yang menghibur agar aku tertawa dan kau bahagia. Jadi sudah, tak usah kau lihat-lihat lagi. 

Sekian saja surat dariku. 
Kau memang indah, Anjani. Tapi yang murni adanya akan selalu aku perjuangkan. 

Salam cinta dan kasih.
Teman hari-harimu, 
Teman baikmu,

-Tri Rahmadi- 





0 komentar: